Translate

Senin, 11 Januari 2016

Hey, Blogger :)
apa kabar hari ini kalian semua ? gue harap baik baik aja yaaa

kali ini gue mau ngomongin tentang kalimat " kalau lo berteman itu harus ngebuat lo berkembang" atau dengan kalimat " ketika lo menjalin hubungan dengan orang lain kalo dia cinta ya terima apa adanya aja "...

menurut kalian pernyataan kaya diatas bener ga sih ?

kalau menurut gue sendiri sih pertama kalo berteman perlu adanya unsur kenyamanan dulu yah, karena dengan kenyamanan dan peduli satu sama lain lama lama akalian akan berkembang kok, karena pada dasarnya dari temen sampai akhirnya jadi sahabat yang saling pengertian dan peduli satu sama lain akan ngebuat kalian berkembang kok. contoh nya nih ya pasti ketika sahabat lo ngerasa ada yang berubah dia akan berusaha nanya sama lo kalau lo itu kenapa ? banyak deh pasti pertanyaan yang terlontar dari sahabat lo itu, dan pasti nya karena terbiasa bersama sifaat sifat baik akan ada yang di contoh, meskipun gue yakin ada juga sifat jelek dari masing masing (*inget kita kan manusia jadi tidak mungkin sesempurna TUHAN yang menciptakan kita). jadi inti nya, lo akan berkembang jika lo berteman dengan orang yang sejalan sama lo terutama ngajak ke jalan kebaikan bukan sebaliknya.

kalo buat kalimat pernyataan kedua, awal nya sih gue berpikir iya tuh bener kalau emang saling cinta apa sayang terima apa adanya aja dong!!! ettsss, tapi itu dulu sih, untuk sekarang ini gue berpikir omongan dosen gue bener juga terkadang jika kita mencintai dan sayang dengan seseorang kita tidak apa apa berubah jika itu demi kebaikan, karena toh inti nya kan perubahan itu untuk saling meghargai satu sama lain, selama ada persetujuan yang baik diantara kalian engga ada salahnya :)

satu hal sih yang mau gue sharing ke kalian, kalau misalnya kalian menghadapi masalah/ngerasa sesuatu yang lo jalanin itu kaya ngebuat lo borong padahal lo sebenernya udah cukup berkembang, coba lo check lagi tujuan hidup lo, karena mungkin aktivitas yang lo jalain itu bukan bagian dari yujuan lo sehingga lo engga pernah ngerasa puas. klo istilahnya sih AKTUALISASI DIRI.


SEE YOU. BYE :) 

Kamis, 15 Oktober 2015

MAKALAH PEWAYANGAN

Hey blogger, jumpa kembali nih :)
pembahasan kali ini mengenai tokoh pewayangan beserta analisis kepribadiannya loh
YUK DI SIMAK! 


BAB I
PENDAHULUAN



A.    LATAR BELAKANG
Seni wayang merupakan seni yang cerita nya memiliki karakter yang ber beda beda. Sehingga apabila dianalogikan dengan memahami karakter wayang wayang dari cerita Ramayana dan Mahabarata akan mudah memahami karakter kepribadiannya. 
Ramayana
Kisah Ramayana diawali dengan adanya seseorang yang bernama Rama, yaitu putera mahkota Prabu Dasarta di Kosala dengan ibu kotanya Ayodya. Tiga saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Rama lahir dari isteri pertama Dasarata bernama Kausala. Barata dari isteri keduanya bernama Kaikeyi setra Laksmana dan Satrukna dan istimewa ketiga bernama Sumitra. Mereka hidup Rukun.
Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahkan putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan Laksmana dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah Barata dan Rama harus dibuang selama 15 (lima belas) tahun. Atas dasar janji itulah dengan lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana.
Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap bahwa takhta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya, untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik takhta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahanda dan tidak menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia naik takhta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya.
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang meresahkan masyarakat di sekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, yang menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta dari tangan Rama. Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha menghalangi, tetapi akhirnya tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana yang sedang mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di Kiskenda setelah berhasil mengalahkan Subali. Setelah itu, Hanuman diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang dipimpin Anggada, anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan Rama, dibuatlah jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam peperangan. Yang menarik dan sampai saat ini sangat populer di Jawa adalah adanya ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah kerajaan atau negara dari Rama kepada Wibisana, yang dikenal dengan sebutan ASTHABRATA.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama, Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya. Setibanya di ibu kota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi raja.
Singkat cerita Ramayana sebenarnya diambil dari cerita yang konon terjadi di daratan India. Saat itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut tanah Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama adalah pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun kekuatan rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa. Sedang tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam bahasa Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya segala peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan.
Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang di India. Dalam khazanah kesastraan Ramayana Jawa Kuno, dalam versi kakawin (bersumber dari karya sastra India abad VI dan VII yang berjudul Ravanavadha/kematian Rahwana yang disusun oleh pujangga Bhatti dan karya sastranya ini sering disebut Bhattikavya) dan versi prosa (mungkin bersumber dari Epos Walmiki kitab terakhir yaitu Uttarakanda dari India).

Mahabarata
Dretarashtra dan Pandu adalah dua orang bersaudara. Dretarashtra, yang tertua, matanya buta, mempunyai seratus orang anak yang disebut Kurawa. Sedangkan saudaranya, Pandu mempunyai lima orang anak disebut Pandawa.
Semasa Pandu hidup, ia memerintah kerajaan Hastinapura atas nama kakaknya yang buta itu. Setelah Pandu wafat mulai timbul pertentangan antara keturunan Dretarashtra yaitu kaum Kurawa dengan keturunan Pandu yaitu Pandawa Lima. Mereka saling berebut kekuasaan, dan masing-masing merasa memiliki hak atas Hastinapura.
Sebenarnya Pandawa itu bukan anak Pandu langsung. Hanya menurut dharma (hukum) yang menjadi anak Pandu adalah Kunti dan Madri. Kunti mempunyai 3 orang anak (semuanya lelaki), yaitu:
1.      Yudhistira, anak sulung. Ayahnya dewa Dharma, merupakan lambang raja yang menghormati hukum (dharma)
2.      Bhima, anak kedua, ayahnya dewa Bayu yang memiliki tenaga luar biasa
3.      Arjuna,anak ketiga. Ayahnya dewa Indra, sangat mahir mempergunakan anak panah.
Madri, saudara Kunti punya anak kembar. Ayahnya dewa Aswin. Anak kembar tersebut diberi nama Nakula dan Sadewa.Anak-anak Dretarashtra yang jumlahnya 100 orang itu lahir dari seorang ibu. Dan yang sulung bernama Duryodhana. Duryodhana sesungguhnya seorang lelaki yang berjiwa pahlawan dan berbudi mulia. Akan tetapi karena ia sering mendengarkan nasihat-nasihat jahat agar mencelakakan saudara sepupunya (Pandawa) akhirnya ia terbawa jahat pula.
Persaingan antara Kurawa dan Pandawa memang terjadi sejak mereka masih kanak-kanak. Hingga saat dewasa Kurawa terus-terusan berusaha mencelakakan sepupunya, untunglah Pandawa yang berjiwa besar selalu berhasil menghindarinya. Atas kebijaksanaan Dretarashtra dan untuk menghindari pertengkaran di antara kedua keluarga bersaudara itu, maka negara dibagi menjadi dua oleh Resi Bhisma. Sebagian beribukota di Indra Prastha diserahkan kepada Pandawa dengan Yudhistira sebagai rajanya, sebagian lagi beribukota di Hastinapura diserahkan kepada Kurawa dan dirajai oleh Duryodhana.
Berkat kepemimpinan Yudhistira, Indraprastha berkembang pesat sehingga menjadi kerajaan yang termasyhur. Hal tersebut membuat hati kaum Kurawa menjadi semakin iri. Duryodhana kembali mendengar nasihat-nasihat buruk para pembantunya. Lalu dicarinya muslihat yang paling ampuh untuk menjatuhkan Pandawa.
Pada suatu ketika Kurawa mengumumkan akan mengadakan pesta besar. Diundangnya Pandawa masuk ke istana Hastinapura. Dengan segala tipu daya dan kelicikannya kaum Kurawa berhasil membawa Yudhistira ke meja judi, padahal Yudhistira sendiri sesungguhnya tidak pernah berjudi. Yudhistira main dadu dengan Sakuni yang memang sengaja disediakan oleh pihak Kurawa. Sakuni adalah penjudi ulung yang cerdik dan tak terkalahkan. Sakuni selalu menang dan Yudhistira selalu kalah. Semua barang milik Yudhistira habis dipakai taruhan, demikian pula milik adik-adiknya. Hingga akhirnya, kerajaan, adik-adiknya, dirinya sendiri bahkan kemudian istrinya menjadi korban taruhan. Yudtristira dan seluruhkeluarganya menjadi budak belian kaum Kurawa.
Pandawa yang berhati lembut harus melihat Drupadi, permaisuri Yudhistira mengerjakan pekerjaan babu atas perintah orang-orang Kurawa. Sungguh kejadian yang tidak adil, sebab sebelum Yudhistira mempertaruhkan istrinya di meja judi, Yudhistira sendiri sebenarnya sudah mempertaruhkan dirinya.
Dengan demikian sesungguhnya ia tidak berhak lagi bermain judi dan mempertaruhkan Drupadi, istrinya. Dengan demikian, Dretarashtra memutuskan bahwa semua permainan dianggap tidak sah dan harus diulang sekali lagi. Jika pada permainan terakhir tersebut Yudhistira kalah pula, maka Pandawa harus hidup dalam pengasingan di hutan selama 12 tahun. Dan pada tahun ketiga belas boleh hidup di tempat-tempat yang didiami orang dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak dikenali oleh siapapun. Apabila ada yang mengenali siapa mereka yang sebenarnya, maka pengasingan harus diulangi dari permulaan lagi. Pada permainan yang terakhir, Yudhistira kalah lagi. Pandawa yang malang harus menjalani hukuman pengasingan itu.
Dretarashtra dan Pandu adalah dua orang bersaudara. Dretarashtra, yang tertua, matanya buta, memnpunyai seratus orang anak yang disebut Kurawa. Sedangkan saudaranya, Pandu mempunyai lima orang anak disebut Pandawa.
Semasa Pandu hidup, ia memerintah kerajaan Hastinapura atas nama kakaknya yang buta itu. Setelah Pandu wafat mulai timbul pertentangan antara keturunan Dretarashtra yaitu kaum Kurawa dengan keturunan Pandu yaitu Pandawa Lima. Mereka saling berebut kekuasaan, dan masing-masing merasa memiliki hak atas Hastinapura.
Sebenarnya Pandawa itu bukan anak Pandu langsung. Hanya menurut dharma (hukum) yang menjadi anak Pandu adalah Kunti dan Madri. Kunti mempunyai 3 orang anak (semuanya lelaki), yaitu:
1.      Yudhistira, anak sulung. Ayahnya dewa Dharma, merupakan lambang raja yang menghormati hukum (dharma)
2.      Bhima, anak kedua, ayahnya dewa Bayu yang memiliki tenaga luar biasa
3.       Arjuna,anak ketiga. Ayahnya dewa Indra, sangat mahir mempergunakan anak panah.
Madri, saudara Kunti punya anak kembar. Ayahnya dewa Aswin. Anak kembar tersebut diberi nama Nakula dan Sadewa.
Anak-anak Dretarashtra yang jumlahnya 100 orang itu lahir dari seorang ibu. Dan yang sulung bernama Duryodhana. Duryodhana sesungguhnya seorang lelaki yang berjiwa pahlawan dan berbudi mulia. Akan tetapi karena ia sering mendengarkan nasihat-nasihat jahat agar mencelakakan saudara sepupunya (Pandawa) akhirnya ia terbawa jahat pula.
Persaingan antara Kurawa dan Pandawa memang terjadi sejak mereka masih kanak-kanak. Hingga saat dewasa Kurawa terus-terusan berusaha mencelakakan sepupunya, untunglah Pandawa yang berjiwa besar selalu berhasil menghindarinya. Atas kebijaksanaan Dretarashtra dan untuk menghindari pertengkaran di antara kedua keluarga bersaudara itu, maka negara dibagi menjadi dua oleh Resi Bhisma. Sebagian beribukota di Indra Prastha diserahkan kepada Pandawa dengan Yudhistira sebagai rajanya, sebagian lagi beribukota di Hastinapura diserahkan kepada Kurawa dan dirajai oleh Duryodhana.
Berkat kepemimpinan Yudhistira, Indraprastha berkembang pesat sehingga menjadi kerajaan yang termasyhur. Hal tersebut membuat hati kaum Kurawa menjadi semakin iri. Duryodhana kembali mendengar nasihat-nasihat buruk para pembantunya. Lalu dicarinya muslihat yang paling ampuh untuk menjatuhkan Pandawa.
Pada suatu ketika Kurawa mengumumkan akan mengadakan pesta besar. Diundangnya Pandawa masuk ke istana Hastinapura. Dengan segala tipu daya dan kelicikannya kaum Kurawa berhasil membawa Yudhistira ke meja judi, padahal Yudhistira sendiri sesungguhnya tidak pernah berjudi. Yudhistira main dadu dengan Sakuni yang memang sengaja disediakan oleh pihak Kurawa. Sakuni adalah penjudi ulung yang cerdik dan tak terkalahkan. Sakuni selalu menang dan Yudhistira selalu kalah. Semua barang milik Yudhistira habis dipakai taruhan, demikian pula milik adik-adiknya. Hingga akhirnya, kerajaan, adik-adiknya, dirinya sendiri bahkan kemudian istrinya menjadi korban taruhan. Yudtristira dan seluruhkeluarganya menjadi budak belian kaum Kurawa.
Pandawa yang berhati lembut harus melihat Drupadi, permaisuri Yudhistira mengerjakan pekerjaan babu atas perintah orang-orang Kurawa. Sungguh kejadian yang tidak adil, sebab sebelum Yudhistira mempertaruhkan istrinya di meja judi, Yudhistira sendiri sebenarnya sudah mempertaruhkan dirinya.
Dengan demikian sesungguhnya ia tidak berhak lagi bermain judi dan mempertaruhkan Drupadi, istrinya. Dengan demikian, Dretarashtra memutuskan bahwa semua permainan dianggap tidak sah dan harus diulang sekali lagi. Jika pada permainan terakhir tersebut Yudhistira kalah pula, maka Pandawa harus hidup dalam pengasingan di hutan selama 12 tahun. Dan pada tahun ketiga belas boleh hidup di tempat-tempat yang didiami orang dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak dikenali oleh siapapun. Apabila ada yang mengenali siapa mereka yang sebenarnya, maka pengasingan harus diulangi dari permulaan lagi. Pada permainan yang terakhir, Yudhistira kalah lagi. Pandawa yang malang harus menjalani hukuman pengasingan itu.
Singkat cerita diawali ketika Pandu memenangkan syaembara menikahi Dewi Kunti. Melahirkan 5 orang anak yaitu Yudistira (bijaksana), Bima (emosional untuk kebenaran), Arjuna (jago perang) dan sikembar Nakuladan Sadewa (ahli dalam pengetahuan) yang kemudian disebut Pandawa.
Pandu mempunyai adik Destarata (tidak bisa melihat) yang mempumyai anak 100 orang. Si sulung bernama Duryodana (serakah ingin menjadi raja Astina) ketika Pandu bertapa kerajaan dititip ke Destarata (menunggu anak-anaknya Pandawa dewasa)
            Dengan akal licik di bantu sangkuni (paman) berhasil menyingkirkan Pandawa keluar dari Astina. Terjadilah perang saudara Antara Pandawa dan kurawaa (Duryodana) untuk memperebutkan kebenaran hak Pandawa yaitu kerajaan Hastinapura.

BAB II
TEORI
 A. TEORI BIG FIVE PERSONALITY
1. Definisi Big Five Personality
Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John & Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun, jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).
Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih. Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang
membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi “Big Five Personality”.  Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999). Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan
satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005). 
Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).
  
2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut:
1. Neuroticism (N)
2. Extraversion (E)
3. Openness to New Experience  (O)
4. Agreeableness (A)
5. Conscientiousness (C)
Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi OCEAN (Pervin, 2005). Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1. yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial (Pervin, 2005).

Tabel 1.
Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah
Karakteristik dengan skor tinggi
Sifat
Karakteristik dengan skor rendah
Kuatir,
cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan
Neuroticism (N) mengukur penyesuaian Vs ketidak stabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu akan distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan dan keinginan yang berlebihan dan respon coping yang tidak sesuai
Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman,  puas terhadap diri sendiri.
Mudah bergaul, aktif, talkative, person-oriented, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat.
Extraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, level aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas kesenangan. 
Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –oriented, pemalu, pendiam.
Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak ketinggalan jaman.
Openness (O) Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang mengetahui sesuatu yang tidak familiar.
Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni kurang analitis
Berhati lembut, baik, suka menolong, dapat dipercaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang.
Agreeableness (A) Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.
Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulative.
Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun.
Conscientiousness (C) Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecendrungan untuk menjadi malas dan lemah.
Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang.

Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big  Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:
1. Extraversion terdiri dari:
1. Gregariousness (suka berkumpul).
2. Activity level (level aktivitas).
3. Assertiveness (asertif).
4. Excitement Seeking (mencari kesenangan).
5. Positive Emotions (emosi yang positif).
6. Warmth (kehangatan). 

2. Agreeableness terdiri dari:
1. Straightforwardness (berterusterang).
2. Trust (kepercayaan).
3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain).
4. Modesty (rendah hati).
5. Tendermindedness (berhati lembut).
6. Compliance (kerelaan).
 
3. Conscientiousness terdiri dari:
1. Self-discipline (disiplin).
2. Dutifulness (patuh).
3. Competence (kompetensi).
4. Order (teratur).
5. Deliberation (pertimbangan).
6. Achievement striving (pencapaian prestasi).


4. Neuroticism terdiri dari:
1. Anxiety (kecemasan).
2. Self-consciousness (kesadaran diri).
3. Depression (depresi).
4. Vulnerability (mudah tersinggung).
5. Impulsiveness (menuruti kata hati).
6. Angry hostility (amarah)
5. Openness to new experience terdiri dari:
1. Fantasy (khayalan).
2. Aesthetics (keindahan).
3. Feelings (perasaan).
4. Ideas (ide).
5. Actions (tindakan).
6. Values (nilai-nilai).

BAB III
ANALISIS KEPRIBADIAN
jika membahas cerita perwayangan Ramayana, terdapat 3 tokoh utama yaitu Rama, Sinta dan Anoman. Rama adalah raja yang adil dan bijaksana dalam memimpin kerajaan,  Sinta adalah istri rama, sedangkan Anoman adaah monyet penjelmaan dewa yang sakti, membela keberanaran dan mengabdikan diri kepada Rama. 
Dalam pembahasan analisis kepribadian, menggunakan big five teori sepeti yang sudah terlampirkan di bab sebelumnya. Tokoh Rama dalam pewayangan Ramayana masuk ke dalam tipe Agreebleness, dan juga sebagai raja dalam cerita tersebut sifat nya dapat di gambarkan seperti Straightforwardness (berterusterang), trust (kepercayaan), altruism (mendahulukan kepentingan orang lain), modesty (rendah hati), tendermindedness (berhati lembut), compliance (kerelaan)
Tokoh sinta dalam cerita ini di bahas hanya sebagai istri dari tokoh Rama.menurut saya sinta masuk dalam tipe Extraversion, terdiri dari sifat:  Gregariousness (suka berkumpul), Activity level (level aktivitas),  Assertiveness (asertif), Excitement Seeking (mencari kesenangan). Positive Emotions (emosi yang positif), Warmth (kehangatan). Mungkin tidak semua sifat yang ada dalam Extraversion terdapat dalam diri sinta, namun sebagai istri yang setia, emosi yang positif (mendukung suami dalam keadaan yang seperti apapun), kehangatan dalam hal kasih saying dan kelembutannya.
Tokoh Anoman, seorang dewa yang menjelma sebagai monyet sakti pembela kebenaran masuk ke dalam tipe Conscientiousness, terdiri dari sifat : self-discipline (disiplin), dutifulness (patuh), competence (kompetensi), order (teratur), deliberation (pertimbangan), achievement striving (pencapaian prestasi). Pribadi Anoman menurut saya sesuai dengan sifat patuhnya kepada Rama, pencapaian prestasi melawan melwan musuh yang jahat, disiplin, dll

Sedangkan dalam cerita pewayangan Mahabarata, terdapat 5 tokoh utama yaitu: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dalan analisi ini, saya akan membahas 2 tokoh dari 5 tokoh yang ada.
Analis kepribadian menggunakan teori pada baba sebeumnya, yaitu tentang big five personality. Tokoh Yudistira adalah tokoh yang bijaksana. Yudistira bisa di gambarkan dengan tipe Extraversion. Extraversion bisa dibilang tipe yang mudah begaul pada kehidupan sosial atau lingkungannya. Sifat Yudistira yang bijaksana dapat di paparkan dengan sifat:  Gregariousness (suka berkumpul), Activity level (level aktivitas),  Assertiveness (asertif), Excitement Seeking (mencari kesenangan). Positive Emotions (emosi yang positif), Warmth (kehangatan).
selanjutnya tokoh Arjuna, dikenal dengan tokoh yang ahli dalam memimpin pasungan untuk berperang. Tokoh Arjuna masuk ke daam tipe Conscientiousness, terdiri dari sifat : Self-discipline (disiplin),competence (kompetensi),deliberation(pertimbangan). Dengan memiliki sifat disiplin memudahkan dalam berperang, karena membutuhkan sifat kedisiplinan, begitupun dengan kompetensi dan pertimbangan bisa di jadikan untuk membuat strategi dalam berlangsungnya peperangan, dan mempertimbangkan sesuatu dengan sebaik baiknya 

BAB IV
KESIMPULAN
Dengan tokoh tokoh dari cerita wayang Ramayana dan Mahabarata, kita bisa mempelajaari karakter masing masing tokoh, yang bisa memudahkan kita belajar memahami karakter orang lain. Dalam makalah ini pembahasan masing masing tokoh yang ada di bahas menggunakan big five teori yang terdiri dari : Neuroticism (N), Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C).
Tokoh Rama memiliki tipe Agreeableness (A), tokoh Sinta memiliki tipe Extraversion (E, tokoh Anoman memiliki tipe Conscientiousness (C). tokoh Arjuna memiliki tipe Conscientiousness (C), dan Yudistira memiliki tipe Extraversion (E).


mungkin cukup sampai disini, semoga bermanfaat :)
YUK TERUS MENCARI TAHU !



Referensi
Materi psikologi kepribadian (mba Eva)
Wikipedia yang diakses pada tanggal 10 dan 11 juni 2014
http://www.anneahira.com/tokoh-wayang-kulit.htm



Minggu, 06 Juli 2014

SEJARAH INTELEGENSI BESERTA PENDEKATAN-PENDEKATANNYA

Hey blogger, jumpa kembali nih J
Pembahasan kali ini mengenai sejarah intelegensi beserta pendekatan pendekatannya,
YUK MARI DI SIMAK J

Seperti yang telah kita ketahui bahwa masing-masing individu berbeda-beda intelegensinya. Karena perbedaan tersebut sehingga antara individu tidak sama kemampuannya dalam memecahkan suatu persolan yang dihadapi. Mengenai perbedaan intelegensi ini terdapat dua pandangan, yaitu :

·         Perbedaan Kualitatif
Pandangan yang berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan yang lainnya itu memang secara kulaitatif berbeda, jadi pada dasarnya memang berbeda.

·         Pandangan Kuantitatif
Pandangan yang berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan yang lainnya itu karena perbedaan materi yang diterima atau karena perbedaan dalam proses belajarnya. Meskipun demikian, kedua peandangan tersebut mengakui bahwa antara individu memiliki intelegensi yang berbeda.

Persoalan lain yang timbul dalam hal ini adalah tentang cara mengetahui taraf intelegensi tersebut. Dalam masalah ini, beberapa ahli psikologi yang memberikan kontribusinya adalah:

1. Sejarah Tes Intelegensi
Pada abad XIV, di cina, telah berlangsung usaha untuk mengukur kompetensi para pelamar jabatan pegawai negara. Untuk dapat diterima sebagai pegawai, para pelamar harus mengikuti ujian, ujian tertulis mengenai pengetahuan konvusion klasik dan mengenai kemampuan menulis puisi. Ujian ini berlangsung sehari semalam di tingkat distrik. Kurang dari 7% pelamar yang biasanya lulus tingkat distrik kemudian harus mengikuti ujian berikutnya yang berupa menulis prosa dan sajak. Dalam ujian ke 2 ini kurang dari 10% peserta yang lulus. Akhirnya barulah ujian tingkat akhir diadakan di peking dimana diantara para peserta terakhir ini hanya lulus 3% saja. Lulusan ini kemudian diangkat menjadi mandarin dan bekerja sebagai pegawai negara. Dengan demikian dari ke 3 tahap ujian tersebut hanya 5 diantara 100.000 pelamar yang akhirnya menjadi mandarin.

Mungkin suatu kebetulan, bahwa awal perkembangan pengukuran mental berpusat pada kempuan yang bersifat umum yang kita kenal sebagai tes intelegensi. Usaha pengukuran intelegensi berkembang dalam kurun waktu yang kurang lebih serempak di amerika serikat dan Perancis.

Di amerika, usaha pertama tersebut dimulai oleh tokoh pencetus istilah “tes mental”, James Mckeen Cattell (1860-1944), yang menerbitkan bukunya mental tes and measuremens di tahun 1890. buku ini berisi serangkaian tes intelegensi yang terdiri atas 10 jenis ukuran. Ke 10 macam ukuran tersebut adalah:

a. Dinamo meter peasure, yaitu ukuran kekuatan tangan menekan pegas yang dianggap sebagai indikator aspek psikofisiologis
b. Rate of movement, yaitu kecepatan gerak tangan dalam satuan waktu tertentu yang dianggap memiliki komponen mental didalamnya.
c. Sensation areas, yaitu pengukuran jarak terkecil diantara 2 tempat yang terpisah dikulit yang masih dapat dirasakan sebagai 2 titik berbeda.
d. Peasue caosing pain, yaitu pengukuran yamg dianggap berguna dalam diaknosis terhadap penyakit saraf dan dalam mempelajari status kesadaran abnormal.
e. Least noticabele difference in weight, yaitu pengukuran perbedaan berat yang terkecil yang masih dapat dirasakan seseorang.
f. Reaction time for sound, yang mengukur waktu antara pemberian stimulus dengan timbulnya reaksi tercepat.
g. Time for naming colors, yang dimaksudkan sebagai ukuran terhadap proses yanglebih”mental”daripada waktu-reaksi yang dianggap reflektif.,
h. Bisection of a 50-cm line, yang dianggap sebagai suatu ukuran terhadap akurasi “ space judgment’
i. Judgment of 10second time, yang dimaksudkan sebagai ukuran akurasi dalam ‘time judgment’( subyek diminta menghitung 10 detik tampa bantuan apapun).
j. Number of latters repeated upon once hearing, yang dimaksudkan sebagai ukuran terhadap perhatian dan ingatan( subyek diminta mengulang huruf yang sudah disebutkan 1x)

2. Latar Belakang Tes Intelegensi

a. E. Seguin (1812 – 1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan sebuah papan yang berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental. Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari tes performansi.
b. Joseph Jasnow (1863 – 1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
c. G.C. Ferrari (1896) mempublikasikan tes yang bisa dipakai untuk mendiagnosis keterbelakangan mental.
d. August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis (h. 14).
e. E. Kraepelin, seorang psikotes menyokong usaha ini, empat macam tes yang dikembangkan, di antaranya yaitu:
 Koordinasi motoric
 Asosiasi kata-kata
 Fungsi persepsi
 Ingatan
f. E. Kraepelin juga mengembangkan tes intelegensi yang berkaiatan dengan tes penataran aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895.

Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917 – 1918, tes ini dipakai hampir dua juta orang.

3. Jenis-Jenis Tes Intelegensi
     Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :

a) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
 Stanford – Binet Intelegence Scale.
 Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
 Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
 Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS)
 Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
b) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
 Pintner Cunningham Prymary Test
 The California Test of Mental Makurity
 The Henmon – Nelson Test Mental Ability
 Otis – Lennon Mental Ability Test
 Progassive Matrices
c) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan
Untuk tujuan program layanan bimbingan di sekolah yang akan dibahas adalah tes intelegensi kelompok berupa:
 The California Test of Mental Maturity (CTMM)
 The Henmon – Nelson Test Mental Ability
 Otis – Lennon Mental Ability Test, and
 Progassive Matrices. (22)

Ada kalsifikasi atau standar tingkat IQ yang cukup berpengaruh yaitu klasifikasi dari Wechsler yang menciptakan tes WISC yang diperuntukan bagi anak-anak pada tahun 1949. Adapun kalsifikasi IQ-nya.

Name
IQ
Very superior
130 +
Superior
120 – 129
Bright normal
110 – 119
Average
90 – 109
Dull normal
80 – 89
Borderline
70 – 79
Mental defective
69 and below
          (Harriman, 1958)


4. Teori-Teori dan Pendekatan-Pendekatan Tentang Intelegensi

Diantara beberapa uraian ringkas mengenai teori intelegensi beserta tokohnya masing-masing sebagai berikut:
1. Alfred Binet mengatakan bahwa intelegensi bersifat monogenetik yaitu berkembang dari suatu faktor satuan. Menurutnya intelegensi merupakan sisa tunggal dari karekteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.
2. Edward Lee Thorndike, teori Thorndike menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari berbagai kemampuan spesifik yang ditampikan dalam wujud perilaku intelegensi.
3. Robert J. Sternberg, teori ini mentikberatkan pada kesatuan dari berbagai aspek intelegensi sehingga teorinya teorinya lebih berorientasi pada proses. Teori ini disebut juga dengan TeoriIntelegensi Triarchic. Teori ini berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan antara:
a. Intelegensi dan dunia internal seseorang
b. Intelegensi dan dunia eksternal seseorang
c. Intelegensi dan pengalaman
Adapun dalam memahami hakikat intelegensi, Maloney dan Ward (1976) engemukakakn empat pendekatan umum, yaitu.
1) Pendekatan Teori Belajar
 Inti pendekatan ini mengenai masalah hakikat intelegensi terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip umum yang dipergunakan individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru.
2. Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku intelegensi menurut pendekatan ini dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan neuro-fisiologisnya.
3. Pendekatan Psikomotorik
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi merupakan suatu konstrak atau sifat psikologis yang berbeda-beda kadarnya bagi setiap dua arah study, yaitu.
o Bersifat praktis yang menekankan pada pemecahan masalah.
o Bersifat teoritis yang menekankan pada konsep dan penyusunan teori
4. Pendekatan Teori Perkembangan
Dalam pendekatan ini, studi intelegensi dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kuantitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu.
Faktor-Faktor dalam Intelegensi
Dalam intelgensi akan ditemukan faktor-faktor tertentu yang para ahli sendiri belum terdapat pendapat yang sama seratus persen. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai faktor-faktor dalam intelegensi
1. Thorndike dengan Teori Multi-Faktor
Teori ini menyatakan bahwa intelegensi itu tersusun dari beberapa faktor yang terdiri dari elemen-elemen, tiap elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap atom itu terdiri dari stimulus-respon. Jadi, suatu aktivitas adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan yang lainnya.
2. Spearman
Menurut Spearman intelegensi mengandung 2 macam faktor, yaitu:
o General ability atau general faktor (faktor G)
Faktor ini terdapat pada semua individu, tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor ini selalu didapati dalam semua “performance”.
 Special ability atau special faktor (faktor S)
Faktor ini merupakan faktor yang khusus mengenai bidang tertentu. Dengan demikian, maka jumlah faktor ini banyak, misalnya ada S1, S2, S3, dan sebagainya sehingga kalau pada seseorang faktor S dalambidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang tersebut.
Menurut Spearman tiap-tiap “performance” adanya faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan. P=G+S
3. Burt
Menurut Burt dalam intelegensi terdapat 3 faktor
a) Special ability atau special faktor (faktor S)
b) General ability atau general faktor (faktor G)
c) Common ability atau common faktor disebut juga group factor (faktor C)
Faktor ini merupakan sesuatu kelompok kemampuan tertentu seperti kemampuan kelompok dalam bidang bahasa. Sehingga rumus “performance” menjadi P=G+S+C
4. Thurstone
Thurnstone mempunyai pandangan tersendiri. Dia berpendapat bahwa dalam intelegensi terdapat faktor-faktor primer yang merupakan “group factor”, yaitu:.
a. Spatial relation (S)
Kemampuan untuk melihat gambar tiga dimensi
b) Perceptual speed (P)
Kecepatan dan ketepatan dalam mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan atau dalam merespon detil-detil visual.
c) Verbal comprehension (V)
Kemampuan memahami bacaan, kosakata, analogi verbal, dan sebagainya.
d) Word fluency (W)
Kecepatan dalam menghubug-hubngkan kata dengan berbagai rima dan intonasi.
e) Number facility (N)
Kecepatan ketepatan dalam perhitungan
f) Associative memory (M)
Kemampuan menggunakan memori untuk menghubungkan berbagi assosiasi.
g) Induction (I)
Kemampuan untuk menarik suatu kesimpulan suatu prinsip atau tugas.
Menurutnya faktor-faktor tesebut berkombinasi sehingga menghasilkan tindakan atau perbuatan yang intelegen.

Mungkin cukup sampai disini dulu yaaa, semoga bermanfaat :)
 YUK TERUS MENCARI TAHU !

Sumber :
http://www.psychologymania.net/2010/04/sejarah-pengukuran-intelegensi-jenis.html
diskusi kelas psikodiagnstik
Robert S. Feldman (2012). Pengantar Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika